Bentuk-Bentuk Punishment untuk Tim yang Bisa Diberikan

Table of Contents

Apa iya, punishment untuk tim di lingkungan kerja diperbolehkan? Kalau ya, seperti apa contoh dan bentuk implementasinya serta parameter untuk memberikan punishment?

Boleh nggak, sih, memberikan punishment untuk tim di lingkungan kerja?

Pertanyaan ini masih cukup sering menjadi bahan diskusi. Sebetulnya, jawaban untuk pertanyaan ini nggak berbeda dengan jawaban kenapa perusahaan atau leader ngasih reward untuk timnya.

Punishment dan reward sama-sama merupakan bentuk motivasi. Namun, nggak cuma itu, punishment juga merupakan bentuk atas konsekuensi atas tindakan karyawan yang nggak sesuai dengan tujuan atau nilai-nilai perusahaan. Dalam kata lain, punishment adalah salah satu cara buat meningkatkan disiplin karyawan.

Bentuk-Bentuk Punishment yang Bisa Diberikan

Tentunya, punishment untuk tim yang bisa diberikan nggak sembarangan. Selain nggak melanggar HAM dan melanggar hukum punishment yang diterapkan juga sebaiknya relevan dengan pekerjaannya.

Seperti contoh, konyol aja kalau sales yang ditargetin bisa jual produk 100 buah dalam sehari, ternyata cuma bisa jual 60 buah dan dihukum harus lari lapangan dan push up?

Maka dari itu, leader harus bisa ngasih konsekuensi yang sesuai. Kalau masih bingung, beberapa contoh berikut mungkin bisa kamu jadikan referensi.

Surat Peringatan

Nah, ini adalah bentuk punishment yang paling lazim. Cara ini juga bisa diatur dalam perusahaan atau bahkan dalam kontrak kerja.

Misal, tiap anggota tim sales diwajibkan untuk bisa jual 300 buah produk A setiap bulan. Kalau selama dua bulan berturut-turut di bawah batas itu, maka anggota akan dapat Surat Peringatan (SP) I. Kalau dalam batas waktu tiga bulan setelah SP I masih juga nggak ada perbaikan, maka akan dikasih SP II. Pun kalau dalam tiga bulan berikutnya setelah SP II dikasih masih juga nggak ada perbaikan, maka akan diberhentikan kerja.

Pemberian SP ini juga bisa diterapkan di divisi lain sesuai KPI masing-masing. Oleh karena itu, KPI harus dibikin dengan parameter yang bisa diukur secara objektif supaya nggak bias penilaiannya.

Skorsing

Pemberian skorsing biasanya dikasih untuk anggota tim yang melanggar etika atau nilai-nilai perusahaan maupun hukum yang berlaku.

Ada banyak contoh kasus yang bisa jadi use case model punishment ini. Seperti misal adalah pemalsuan tanda tangan pejabat di dokumen tertentu, terutama saat si pejabat aslinya nggak tahu-menahu. Contoh lainnya adalah penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan rusaknya moral atau mencemari nilai-nilai perusahaan.

Skorsing pun biasanya dibarengi dengan punishment lain, seperti berkurangya gaji yang diterima, sulitnya kesempatan untuk berkarir, dan lain sebagainya.

Mutasi


Banyak anggota tim yang terpaksa ngerelain posisi “strategis” yang sudah diidamkan dan diduduki selama beberapa lama karena kesalahan yang dilakukan. Alih-alih bisa ngejar mimpi karir di bidang yang diharapkan, dia justru malah dilempar ke bagian yang sama sekali bukan minatnya.

Mereka yang dimutasi ini biasanya dipindah ke posisi yang “lebih menantang” dan dipandang nggak cukup strategis. Tapi, kalau dari sudut pandang lain, punishment ini justru bisa jadi ajang bagi si karyawan untuk nunjukin kapabilitas dirinya.

Begitu dia berhasil menaklukkan medan tersebut, dia pun bisa jadi mengembalikan “nama baik”nya. Misal, X yang melakukan pemalsuan tanda tangan akhirnya dipindah ke daerah yang sulit bisa menghasilkan sales. Tapi begitu di sana, ternyata dia justru bisa generate sales di atas target. Dengan begitu, ini bisa jadi cara untuk X mengembalikan kredibilitasnya sehingga kembali membuka lebar peluang untuk mengejar karier.

Tentunya, setiap jenis punishment untuk tim harus dilakukan dengan penilaian yang konkret dan rasional. Leader juga harus bisa menetapkan target yang rasional sesuai dengan sumber daya yang dipunya.

Target ini bisa di-break down lagi ke dalam bentuk OKR dan perlu dibuat transparan sehingga tiap anggota paham tanggung jawab dan goal-nya masing-masing. Untuk mempermudah pembuatan dan pemantauan OKR ini, platform Circle bisa jadi solusinya.

Nggak ketinggalan, evaluasi yang bersifat kualitatif juga menjadi pertimbangan, seperti komunikasi interpersonal, kedisiplinan dan etos kerja karyawan, dan lain-lain.

Leave a Comment